Masya Allah.. Seorang Imam di Thailand Ditembak Mati Saat Menuju Masjid...Ternyata...., |
Seorang imam masjid
ditembak mati ketika sedang mengendarai motonya untuk menuju masjid di wilayah
Thailand selatan yang masih dilanda pemberontakan pada rezim Bangkok.
Menurut sersan Narawit Ratchakityothin, seorang petugas penyidik di distrik Yaring, provinsi Pattani, serangan terjadi pada pukul 19:10 hari Minggu (26/6) petang. Korban adalah Abdullah Doe, 46 tahun, seorang imam masjid. Saat itu dirinya tengah berkendara sepeda motor menuju masjid di desanya.
Menurut sersan Narawit Ratchakityothin, seorang petugas penyidik di distrik Yaring, provinsi Pattani, serangan terjadi pada pukul 19:10 hari Minggu (26/6) petang. Korban adalah Abdullah Doe, 46 tahun, seorang imam masjid. Saat itu dirinya tengah berkendara sepeda motor menuju masjid di desanya.
Seorang laki-laki tak
dikenal telah membuntuti Doe, dan kemudian menembaknya beberapa kali dengan
pistol dari arah belakang.
Akibat luka tembakan yang fatal, Doe langsung meninggal di tempat kejadian.
Wilayah selatan Thailand, khususnya tiga provinsi Yala, Pattani dan Narathiwat yang mayoritas Muslim, telah dilanda pemberontakan selama lebih dari 50 tahun dan menjadi salah satu konflik intensitas rendah namun mematikan.
Meski belum jelas hasil penyelidikannya, Ratchakityothin yakin bahwa penembakan tersebut tidak terkait dengan konflik di Thailand selatan.
“Untuk saat ini kami yakin bahwa penembakan ini disebabkan oleh masalah pribadi”, kata Ratchakityothin melalui telepon kepada Anadolu Agency.
Konflik di Thailand Selatan
Perlawanan di Thailand selatan berakar dari masalah lama sejak ratusan tahun lalu antara masyarakat Muslim Melayu di wilayah itu dengan Kerajaan Thailand yang secara de facto menjadikan Buddha sebagai agama negaranya.
Beberapa wilayah Melayu Muslim berhasil diduduki oleh Kerajaan Thailand (Siam) pada akhir abad ke 18, dimana sebelumnya berdiri Kesultanan Islam Patani (berbeda dengan Pattani). Inggris mengakui penguasaan Thailand atas wilayah itu pada tahun 1909.
Sebagian lain bekas wilayah Kesultanan Patani menjadi bagian dari negara Malaysia.
Rezim Bangkok mulai melakukan intervensi untuk menghapus identitas Melayu (Muslim) dengan pemaksaan identitas nasional Thailand berdasar UU kebudayaan.
Termasuk mengusik kurikulum di sekolah-sekolah Islam, pemaksaan penggunaan aksara serta bahasa, penghapusan peradilan Islam tradisional (adat) dan kemudian hilangnya tokoh-tokoh Muslim secara misterius.
Selain diskriminasi tersebut, pembangunan atau pemerataan ekonomi Thailand juga tidak menyentuh ke wilayah Muslim ini.
Sejak dekade 40-an, tokoh Muslim Melayu di bekas Kesultanan Patani telah mengampanyekan tuntutan otonomi, kebebasan penggunaan bahasa, budaya, dan hak menerapkan hukum Islam sendiri.
Kelompok bersenjata dibentuk pertama kali pada akhir 50-an. Namun pemberontakan bersenjata memudar pada era 1990-an.
Pada tahun 2000-an, gerakan perlawanan bersenjata kembali mulai menggeliat. Mencapai puncaknya di tahun 2004, menyebabkan Bangkok mengirim banyak tentaranya ke wilayah selatan.
Perlawanan terdiri dari banyak sel-sel pejuang lokal, juga terbentuk organisasi bernama Barisan Revolusi Nasional atau BRN, dan kelompok lainnya. Termasuk kehadiran kecil para “jihadis”.
Tujuan mereka beraneka ragam, ada yang menginginkan kemerdekaan penuh dan juga meminta otonomi seluas-luasnya sebagai opsi yang lebih diterima bersama.
Perlawanan pejuang lokal terhadap militer Thailand terjadi secara gerilya di bentang alam yang memang mendukung.
Beberapa laporan kelompok HAM menyatakan bahwa militer Thailand melakukan berbagai kekerasan dan penyiksaan terhadap orang-orang yang dituduh terlibat pemberontakan.
Pertemuan untuk negosiasi damai antara rezim Bangkok dan pemberontak telah terjadi beberapa kali, melalui inisiasi pemerintah Malaysia maupun Indonesia.
Pada tahun 2013, tercapai sebuah kesepakatan mengenai pembicaraan awal antara Bangkok dan kelompok perlawanan Islam di Kuala Lumpur.
Negosiasi antara perwakilan pemberontak dengan Thailand dimulai pada 2015, dimana Malaysia sebagai penengah.
Hingga hari ini, wilayah selatan Thailand masih menjadi zona militerisasi. Pos-pos militer Thailand ada dalam tiap jarak sekitar 500 meter dan tiap desa.
Masyarakat Muslim setempat saat ini tetap percaya masih ada tindakan-tindakan militer untuk “menghilangkan” tokoh-tokoh Islam yang dianggap berbahaya.
Partisipasi Melayu Muslim juga sangat kecil dalam pemerintahan di wilayahnya sendiri.
Akibat luka tembakan yang fatal, Doe langsung meninggal di tempat kejadian.
Wilayah selatan Thailand, khususnya tiga provinsi Yala, Pattani dan Narathiwat yang mayoritas Muslim, telah dilanda pemberontakan selama lebih dari 50 tahun dan menjadi salah satu konflik intensitas rendah namun mematikan.
Meski belum jelas hasil penyelidikannya, Ratchakityothin yakin bahwa penembakan tersebut tidak terkait dengan konflik di Thailand selatan.
“Untuk saat ini kami yakin bahwa penembakan ini disebabkan oleh masalah pribadi”, kata Ratchakityothin melalui telepon kepada Anadolu Agency.
Konflik di Thailand Selatan
Perlawanan di Thailand selatan berakar dari masalah lama sejak ratusan tahun lalu antara masyarakat Muslim Melayu di wilayah itu dengan Kerajaan Thailand yang secara de facto menjadikan Buddha sebagai agama negaranya.
Beberapa wilayah Melayu Muslim berhasil diduduki oleh Kerajaan Thailand (Siam) pada akhir abad ke 18, dimana sebelumnya berdiri Kesultanan Islam Patani (berbeda dengan Pattani). Inggris mengakui penguasaan Thailand atas wilayah itu pada tahun 1909.
Sebagian lain bekas wilayah Kesultanan Patani menjadi bagian dari negara Malaysia.
Rezim Bangkok mulai melakukan intervensi untuk menghapus identitas Melayu (Muslim) dengan pemaksaan identitas nasional Thailand berdasar UU kebudayaan.
Termasuk mengusik kurikulum di sekolah-sekolah Islam, pemaksaan penggunaan aksara serta bahasa, penghapusan peradilan Islam tradisional (adat) dan kemudian hilangnya tokoh-tokoh Muslim secara misterius.
Selain diskriminasi tersebut, pembangunan atau pemerataan ekonomi Thailand juga tidak menyentuh ke wilayah Muslim ini.
Sejak dekade 40-an, tokoh Muslim Melayu di bekas Kesultanan Patani telah mengampanyekan tuntutan otonomi, kebebasan penggunaan bahasa, budaya, dan hak menerapkan hukum Islam sendiri.
Kelompok bersenjata dibentuk pertama kali pada akhir 50-an. Namun pemberontakan bersenjata memudar pada era 1990-an.
Pada tahun 2000-an, gerakan perlawanan bersenjata kembali mulai menggeliat. Mencapai puncaknya di tahun 2004, menyebabkan Bangkok mengirim banyak tentaranya ke wilayah selatan.
Perlawanan terdiri dari banyak sel-sel pejuang lokal, juga terbentuk organisasi bernama Barisan Revolusi Nasional atau BRN, dan kelompok lainnya. Termasuk kehadiran kecil para “jihadis”.
Tujuan mereka beraneka ragam, ada yang menginginkan kemerdekaan penuh dan juga meminta otonomi seluas-luasnya sebagai opsi yang lebih diterima bersama.
Perlawanan pejuang lokal terhadap militer Thailand terjadi secara gerilya di bentang alam yang memang mendukung.
Beberapa laporan kelompok HAM menyatakan bahwa militer Thailand melakukan berbagai kekerasan dan penyiksaan terhadap orang-orang yang dituduh terlibat pemberontakan.
Pertemuan untuk negosiasi damai antara rezim Bangkok dan pemberontak telah terjadi beberapa kali, melalui inisiasi pemerintah Malaysia maupun Indonesia.
Pada tahun 2013, tercapai sebuah kesepakatan mengenai pembicaraan awal antara Bangkok dan kelompok perlawanan Islam di Kuala Lumpur.
Negosiasi antara perwakilan pemberontak dengan Thailand dimulai pada 2015, dimana Malaysia sebagai penengah.
Hingga hari ini, wilayah selatan Thailand masih menjadi zona militerisasi. Pos-pos militer Thailand ada dalam tiap jarak sekitar 500 meter dan tiap desa.
Masyarakat Muslim setempat saat ini tetap percaya masih ada tindakan-tindakan militer untuk “menghilangkan” tokoh-tokoh Islam yang dianggap berbahaya.
Partisipasi Melayu Muslim juga sangat kecil dalam pemerintahan di wilayahnya sendiri.
Baca Juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar